r e v o [SO] l u t i o n

Revo to Gaze__Gaze to Revo

Minggu, 19 April 2009

Pesan Untuk Hari Bumi

Hari bumi mungkin berapa hari lagi, 22 April 2009, ada sebuah pesan yang saya kutip yang mungkinkan pesan untuk kita semua warga bumi, dan mungkin lebih di tekankan bagi warga Evav (kepulauan Kei) dimanapun berada, karna pesan ini merupakan sebuah falsafah dari para leluhur Evav, agar generasinya menghargai dan ikut menjaga negerinya (Nuhu Evav, Saya mempunyai sebuah keyakinan bahwa apabila kita Peduli dan Menjaga Kelestarian Lingkungan Hdup negeri kita (kampung kita) maka kita telah ikut Peduli bagi Bumi Kita......

" Kes U', Yang Mur"
(Persedian di Depan, Perbekalan di Belakang)

Memperkuat persedian masa sekarang dan mempertebal perbekalan untuk masa mendatang, Dengan mengendalikan pengelolaan sumber-sumber alam untuk kelangsungan hidup generasi sekarang sekaligus menjaga kelestariannya untuk perbekalan hidup generasi mendatang.


Sesunguhnya bumi ini bukanlah wariasan dari nenek moyang kita melainkan warisan untuk anak cucu kita, tetapi sungguh ironis justru kita membiarkan saja kerusakan demi kerusakan terus melanda bumi ini, bahkan kita jualah pelakunya. Kerusakan pada linkungan hidup merupakan kerugian bagi hidup manusia. Mungkin saja kerugian itu tidak terasakan oleh generasi saat ini, tetapi pada akhirnya akan menyengsarakan bukan hanya satu generasi tetapi generasi demi generasi mendatang. Maka jagalah kelestarian sumber-sumber alam di Bumi Evav demi perbekalan generasi selanjutnya! "It lavur en tok leran mehe, ne it fadad leran mehe en tok" (meruasak itu tak sampai sehari, tapi memperbaikinya tak cukup sehari) maka janganlah kau biarkan kerusakan terus berlangsung melainkan jagalah kelestarian alam linkungan dimana engkau hidup, sebab manusia dan alam hidup untuk saling menghidupi.....

HIMAMALRA-SURABYA

Kutipan dari Pesan leluhur Evav dan Komentar Seorang Tokoh Muda Evav, Pemerhati Linkungan dan Budaya Kei, Tinggal di Surabaya.



Selasa, 14 April 2009

Air Bersih, Alasan Tersendatnya Investasi Industri Perikanan di Kota Tual

Pengembangan Industri Perikanan Tual Menunggu Dukungan Air Bersih


Indonesia yang hampir 75% luas wilayahnya berupa laut, adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Dengan jumlah 17.502 pulau, luas total laut 5,8 juta Km2, mempunyai garis pantai 81.000 km atau kedua terpanjang setelah Kanada.

Potensi lestari ikan laut yang bisa ditangkap sebesar 6,4 juta ton/th, namun produksi tangkapan ikan laut tahun 2001 hanya 4,1 mencapai juta ton (63%). Dalam rangka meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha penangkapan ikan laut tersebut, maka Pemerintah akan mengembangkan Industri Perikanan di Tual. Kenapa Tual, karena laut teritorial Maluku Tenggara adalah lumbungnya ikan laut, khususnya Tuna Sirip Biru yang sangat potensial sebagai komoditas eksport terutama ke Jepang.

Dari kacamata sejarah P. Aru lebih dikenal dibanding dengan P. Kei Dullah, padahal Kota Tual sebagai ibukota kabupaten terletak di P. Kei Dullah. Usia Kabupaten Maluku Tenggara masih muda, karena sejak tahun 2000 dimekarkan menjadi 2 kabupaten, yaitu Kabupaten Maluku Tenggara dan Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Kabupaten Maluku Tenggara membawahi 3 kecamatan masing-masing Kecamatan Kei Keci, Kecamatan Kei Besar dan Kecamatan P Aru. Karena luas lautnya yang hampir 7,6 kali luas daratan, maka sudah sejak lama Maluku Tenggara dikenal sebagai lumbung ikan Indonesia Timur, sekaligus sebagai home base kapal-kapal nelayan lokal dan asing hampir 20-30 kapal nelayan merapat tiap hari di Tual. Hasil perikanan merupakan tumpuan eksport Maluku Tenggara dimana pada tahun 2000 menyumbang 91.208 ton ikan atau devisa sebesar USD 50.488.990,62. Berkembangnya Kota Tual sebagai Ibukota Kabupaten Maluku Tenggara yang cukup pesat, jumlah penduduk saat ini mencapai ± 43.858 jiwa dengan potensi industri Perikanan yang cukup besar, didukung dengan fasilitas Tempat Pelelangan Ikan (TPI), pelabuhan domestik, hotel-hotel serta sarana lainnya, maka penyediaan air bersih untuk Kota Tual sebesar 50 liter/detik, sudah tidak mencukupi lagi.

Salah satu prasarana dan sarana perkotaan yang dibutuhkan untuk mendukung industri perikanan di Tual adalah Prasarana dan Sarana Air Bersih. Pembangunan Sarana Air Bersih Kota Tual Kabupaten Maluku Tenggara dimulai pada tahun anggaran 1974/1975 (dengan jumlah penduduk saat itu ± 10.135 jiwa) melalui dana APBN yang dialokasikan melalui Dep. Pekerjaan Umum dengan Kapasitas Produksi sebesar 20 liter/detik (Tahap-I). Pembangunan Tahap II dilaksanakan pada tahun (1994/1995 – 1997/1988) untuk menambah kapasitas produksi dari 20 l/dt menjadi 50 lt/dt.

Sumber air baku Kota Tual berasal dari Mata Air EVU dengan kapasitas debit 1.400 l/dt dan saat ini baru dimanfaatkan untuk Air Bersih sebesar 50 lt/dt, kemudian disalurkan ke Kota Tual yang dikelola oleh PDAM Tual dengan jumlah pelanggan aktif sebanyak 2.140 unit,

meskipun tingkat kebocorannya cukup tinggi mencapai 50% dan hanya mampu melayani ± 28% penduduk. Tarif air rata-rata Rp. 1.200,-/m3 serta tarif komersial Rp. 2.150,-/m3.

Masyarakat yang tidak dapat terlayani oleh PDAM memenuhi kebutuhannya dari PAH (Penampungan Air Hujan) dan membeli air dari swasta yang disuplai melalui Mobil Tangki (Rp. 60.000,-/Mobil Tangki, 4 m3), di mana sumber air berasal dari sumur-sumur dangkal yang kualitasnya kurang memenuhi persyaratan untuk dikonsumsi sebagai air bersih.

Pada tahun 2004 kebutuhan akan air bersih untuk domestik dan non domestik diperkirakan sebesar 80 l/dt. Sedangkan kebutuhan pelayanan Air bersih untuk pelabuhan ikan dan Kawasan Industri Perikanan Ngadi dibutuhkan kapasitas sebanyak 50 l/dt, sehingga total kebutuhan air bersih sampai dengan 2004 sebesar 130 l/dt.

Alternatif pengambilan air baku : 1). Penambahan kapasitas dari Sumber air EVU (Kapasitas sumber 1.400 lt/dt) saat ini telah dimanfaatkan 50 l/dt. Jarak sumber ± 19 Km. Dari Tual atau 27 Km dari Kawasan Industri Perikanan Ngadi. 2). Pengambilan air baku dari Danau Ngadi, jarak sumber ± 2 Km dari Kawasan Industri Perikanan Ngadi.

Untuk meningkatkan pelayanan air bersih bagi penduduk dan untuk mendukung pengembangan Kawasan Industri Perikanan di Kota Tual, perlu direncanakan pembagian wilayah pelayanan menjadi 2 (dua) bagian yaitu: (i) Wilayah I (Tual Selatan ) : Air baku diambil dari EVU terletak di P. Kei Kecil melayani Evu, Letvuan, Dian Darat, Dian Pulau, Debut, Rumadian, Tetoat, Namar, Selayar, Ngilngof, Sathean, Faan, Wearlilir, Kolser, Langgur, Ohoibun, Ohoijang, Fair, Watdek, Tual Bagian Selatan (80 l/dt); (ii) Wilayah II (Tual Utara) : Sumber air direncanakan diambil dari Danau Ngadi terletak di P. Kei Dullah melayani Kota Tual Bagian Utara, TPI, Mangon, Fiditan, Perusahaan Industri Perikanan Ngadi, Desa Ngadi , Dullah Darat, Labetawi, Temedan, Pesantren, Ohoitahit, Ohoitel, Watran dan 5 (lima) unit pelabuhan kapal yang ada di kota Tual (50 l/dt).

Upaya peningkatan pelayanan air bersih di Kota Tual dapat dicapai dengan optimalisasi sistem yang ada (Sumber EVU) melalui pekerjaan : penyusunan DED, rehabilitasi Intake, penggantian sebagian pipa Transmisi yang dibangun tahun 1974/1975, pemasangan pipa distribusi dan penambahan daya listrik.

Untuk pelayanan Kawasan Industri Perikanan Ngadi di Kota Tual dan wilayah kota bagian utara, perlu dibangun sistem baru dengan memanfaatan Air Baku dari Danau Ngadi (50 l/dt) melalui pekerjaan : Survey dan Perencanaan, pembuatan Intake, penggantian pipa Transmisi sepanjang 2 Km, pemasangan pipa Distribusi sepanjang 25 Km, pembangunan Reservoir, Pompa Air Baku dan Pompa Distribusi serta untuk penyambungan daya listrik.

dikutip dari
http://ciptakarya.pu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=83&Itemid=66

Sabtu, 06 September 2008

90% Warga Maluku Tenggara Konsumsi Air Tak Berkualitas

Sekitar 90 persen warga Kabupaten Maluku Tenggara, yang berjumlah sekitar 140.000 jiwa, mengonsumsi air tak berkualitas. Demikian hasil pengujian laboratorium Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Lingkungan Hidup setempat. Kabid Lingkungan Hidup Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup Maluku Tenggara, John Nahusonna, di Ambon, Senin, mengatakan, tidak berkualitasnya air ini karena mengandung bahan kimia berupa logam berat sehingga mengancam kesehatan masyarakat. "Kami tahun 2006 lalu melakukan pengujian terhadap empat lokasi sumber air ternyata tiga diantaranya tidak boleh dikonsumsi karena mengandung kimia," tambahnya. Karenanya itu, pada 2007 ini diprogramkan melakukan pengujian lagi terhadap 50 sumber air di Maluku Tenggara sehingga memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mengkonsumsi air berkualitas. "Pengalaman selama ini dari kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Tual, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara senantiasa mempertanyakan hasil pengujian air berkualitas sebelum pengisian air bersih," ujarnya. John mengisyaratkan tidak berkualitasnya air di Maluku Tenggara ini pun dipengaruhi degradasi hutan yang hingga saat ini tercatat memiliki 126.000 hektar lahan kritis. "Kami pun belum bisa berbuat banyak karena Dephut pun setiap tahun hanya mengalokasikan dana bagi program reboisasi hutan seluas 2.000 hektar," katanya. Kondisi ini pun belum dihadapkan dengan pembukaan trans Kei Besar yang mengakibatkan terjadinya degradasi hutan lindung. [TMA, Ant]
dikutip dari  http://www.gatra.com/2007-09-17/artikel.php?id=107858

Kearifan Tradisional Masyarakat Evav

Kembali ke KEARIFAN TRADISIONAL EVAV

Kearifan masyarakat Evav dalam menjaga, mengolah, dan melestarikan sumberdaya alamnya sebagaimana diulas kembali oleh almarhum J.P. Rahail (Raja Adat Maur Ohoiwut) dalam bukunya Batbatang Fitroa Fitnangan (1995), menunjukan bahwa sesungguhnya peradaban masyarakat Evav sejak dahulu sudah memiliki kearifan yang berwawasan lingkungan. Tanpa pakar kehutanan, tanpa sarjana pertanian ataupun ahli kelautan, mereka (masyarakat Evav tempo dulu) telah meletakkan konsep-konsep pelestarian alam dengan cara mereka sendiri. Hanya dengan cara mengamati sendiri dan didorong oleh kecintaan kepada alam negerinya, mereka sudah menerapkan apa yang kita kenal di jaman modern ini sebagai Tata Guna Lahan atau Tata Guna Kawasan. Bukti bahwa mereka memiliki kearifan yang berwawasan lingkungan, dapat
disimak mulai dari syair-syair tua yang menjadi falsafah hidup mereka, sampai dengan pola pembagian lahan untuk kawasan darat maupun kawasan laut.

Syair - 1:
batbatang nuhu met,
fitroa fitnangan,
vuut er is waar,
medar er sai roan,
kuwlai ukadir rir wai dok tub.

Menjaga tanah dan pantai,
laut dan darat,
ikan-ikan mematuk akar,
kuskus memakan dedaunan,
tempat kediaman ulat dan cacing.

Syair ini memberi gambaran yang jelas bagi kita bahwa manusia dan alam beserta segenap isi kandungannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perkataan fitroa fitnangan (tujuh di laut, tujuh di darat) berarti sudah mencakup keseluruhan yang ada di laut maupun di darat. Bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa ulat dan cacing sekalipun, mempunyai hak untuk hidup di tempat keberadaannya. Manusia dan alamnya hidup untuk saling menghidupi.

Syair – 2:

it dok fo ohoi, it mian fo nuhu,
it dok did kovaat doknain, it vivnon did bamiir,
it var afa ohoi nuhu hov ni adat,
Duad hov enfangnan vuk.

kita tinggal (hidup bersama) demi kampung kita, kita menetap (hidup bersama)demi negeri kita,
kita tingal di tempat kediaman kita sendiri, dan kita tetap menjinjing bagian milik kita,
kita menjaga pusaka negeri kita bersama hukumnya,
kita hidup tegak selurus-lurusnya,
dengan demikian hukum menjaga dan memelihara hidup kita,
para leluhur kita pun turut menyayangi kita,
dan Allah mengasihani kita.

Syair falsafah hidup masyarakat Evav ini meletakkan konsep-konsep dasar tentang kehidupan manusia secara universal. Bahwa mereka hidup bersama-sama di suatu negeri, dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil-hasilnya alam negeri itu. Mereka secara bersama-sama menjaga dan memelihara negeri beserta hasil-hasil alamnya (laut dan darat) untuk keberlangsungan hidup mereka.

Bahwa mereka menempati wilayah mereka sendiri dan menegakkan hak milik mereka. Mereka percaya bahwa dengan menghormati budaya dan menjunjung tinggi hukum adat, serta hidup dengan selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, maka hidup mereka akan dilindungi oleh hukum adat, para leluhur dan Allah sendiri.

Falsafah hidup menggambarkan dengan jelas tentang hubungan antara manusia dengan alamnya, hak-hak asasinya manusia, pelestarian budaya, moral, bahkan religius.

it vait neblo uban ruran,
ikbo adat enfangnan enbatang haraang,
nit yamad ubud nusid hov erbatang fangnan,


oleh: BENO.M (sby)

Pesan Utama Leluhur Evav adalah Menjaga Lingkungan Hidup

 
PESAN PARA LELUHUR TETEEN EVAV....


“Batbatang nuhu met, fitroa fitnangan, vuut er is waar, medar er sai roan, kuvlai ukadir rir wai dok tub”

Kita menjaga tanah dan pantai, laut dan darat, ikan-ikan mematuk akar, kuskus memakan dedaunan, tempat kediaman ulat dan cacing.

“It dok fo ohoi, it mian fo nuhu, it dok did kovaat doknain, it vivnon did bamiir”

kita tinggal bersama-sama demi kampung kita, kita menetap bersama-sama demi negeri kita,
kita tinggal bermukim di tempat kediaman kita sendiri, dan kita selalu menjinjing (menjaga) apa yang menjadi milik kita ini.
(J.P. Rahail, Batbatang Fitroa Fitnangan, 1995)

Syair yang pertama memberi gambaran yang jelas bagi kita bahwa manusia dan alam beserta segenap isi kandungannya (fitroa fitnangan) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahwa ulat dan cacing sekalipun mempunyai hak untuk hidup di tempat keberadaannya, maka manusia hidup untuk mengelola alam beserta isi kandungannya secara arif, dengan demikian maka alam pun akan menjamin ketersediaan kebutuhan hidup bagi manusia.

Syair yang kedua juga menyuarakan tentang kebersamaan hidup manusia dan pelestarian alam lingkungannya. Bahwa manusia itu hidup secara bersama-sama, dan secara bersama-sama pula manusia wajib menjaga dan memelihara alam (negeri) tempat kediamannya itu. Tempat kediaman yang sudah menjadi miliknya sendiri yaitu Nuhu Evav.

Manusia (Tomat Evav) dan alamnya (Nuhu Evav) hidup untuk saling menghidupi !

Oleh karena itu kami mengajak: “Do it taha batbatang did nuhu met roa nangan enhov ni barloang fo did kes u vusin, ne yang mur manan” Marilah kita menjaga dan memelihara negeri kita ini, Nuhu Evav, baik kawasan laut maupun kawasan darat beserta segenap isinya, demi kesejahteraan hidup kita sekarang dan perbekalan hidup bagi anak-cucu kita kelak.

P.R. Renwarin menyuarakan: “Bila para leluhur Kei telah berhasil menggalang hidup bersama selama ratusan tahun hingga menurunkan manusia-manusia muda sekarang ini, maka tantangan dan panggilan bagi generasi muda Kei (Koko Evav) di era millenium III ini adalah untuk mencari jalan keluar yang baru demi kesejahtaraan hidup bersama selanjutnya di atas bumi Kei (Tanat Evav) yang tercinta” (P.R. Renwarin, Sekapur Sirih dalam Buku “Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Mayarakat Kei”, Erick Lobja, 2003).

Tabe Fangnanan Nuhu Evav.......





Senin, 25 Agustus 2008

REPORTASE KEGIATAN (Realita Tanah Evav 2)

Deformasi Lingkungan Hidup

KONDISI LINGKUNGAN PANTAI.

Pantai dan Tanjung Sorbat (Bekas Obyek Wisata Pantai Sorbat Indah)
(Observasi pada 15 September 2007)

Terjadi perubahan yang sangat signifikan di Tanjung Sorbat, Desa Tamedan akibat Eksploitasi Pasir, abrasi dan perubahan garis pantai terjadi disepanjang ujung pesisir utara Pulau Dullah ini, dari ujung Desa Tamedan sampai ke pantai Dusun Difur, Desa Lebetawi. Bahkan bukan hanya disekitar garis pantai, eksploitasi pasir ini bahkan terjadi di didalam hutan. Ada sedikit lahan terselamatkan itu dikarenakan lahan tersebut di Tanami Kelapa Hybryda. Lainnya Kritis dan Tragis. Lihat Fotto (TMPE, UK-GZ)

Pesisir Pantai
Eksploitasi pasir yang terjadi di Pantai Sorbat "Indah" yang sisakan .................... (silahkan di isi)















Kerusakan seperti Tsunami tapi ini akibat ulah manusia Evav sendiri




















Kerusakan di dalam areal Hutan, ini juga akibat Eksploitasi pasir (keserakahan), tak ada jejak yang tertinggal kecuali bekas galian pasir, akar dan ranting pohon yang berserakan, .................!!!!!????













Yang Bertahan, Hanya Area kebun kelapa hibrida ini yang bisa bertahan diantara kerusakan dan abrasi di Peisir semenanjung Sorbat, Dullah Utara.......... Seandainya semua seperti ini tentu kondisinya tak seperti di foto-foto sebelumnya

"Tentu Masyarakat Desa Tamedan tidak bisa disalahkan begitu saja, ini juga akibat Konsep dan arahan pembangunan yang salah, arahan Pembangunan (Pengembangan Pariwisata) yang tak berkonsep pada Pambangunan Yang Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. " UK-GZ

Pantai Dusun Divur Desa Lebetawi (Dekat Obyek Wisata Pantai Difur, Bekas Lahan PT MINA SANEGA)

disangka Ekploitasi Pasir terjadi juga di Dusun Divur, eksploitasi ini mungkin baru dilakukan sekitar tahun 2004, tapi perubahan sangat cepat terjadi, sampai saat ini pengalian sudah pada level 4 atau devisit 2 meter dari ketinggian tanah awal(menurut salah seorang penggali pasir dilokasi ini), terjadi abrasi yang memungkinkan air masuk sampai ke lokasi Penggalian. Lihat Fotto. (TMPE, GZ)

Pantai Menuju Desa Ngilngof dan Pantai Yanroa (antara Desa Ngilngof dan Namar)
Terjadi perubahan garis pantai akibat abrasi air laut dikarenakan minimnya areal hutan bakau (mangrove). Untuk di Yanroa terjadi abrasi akibat pengambilan beberapa tahun yang lalu namun sekarang sudah ada upaya dengan pelarangan dan pencegahan eksploitasi pasir oleh pemerintah Desa Ngilngof (TMPE, Ronald)


KONDISI LINGKUNGAN HUTAN


Sepanjang Jalan Dari Desa Kolser, Desa Ngayub sampai Desa Selayar, Kecamatan Kei Kecil.
Disepanjang perjalanan yang terhampar hanya lahan tandus, dan berupa lahan semak belukar (Lavetar) khas lahan kritis di Kep. Kei. Ada beberapa areal yang dipaksakan untuk di Tanami Pohon Jati yang rata-rata mencapai ketinggian 2-3 meter. Sungguh sangat disayangkan pula terjadi penanaman jati di dalam areal perkebunan penduduk. Adapun areal yang bisa dikatakan rindang dan banyak pepohonan banyak berada di areal yang dekat dengan pemukiman Desa Ngayub. Atau di areal antara Desa Namar dan Selayar.

Areal Hutan Menuju Desa Sathean dan Ibra
Disepanjang perjalanan yang terhampar hanya lahan berupa semak belukar, lahan ini diperkirakan sebelumnya, adalah lahan yang tertanami oleh pepohonan akasia atau sejenisnya. Ada beberapa areal yang dipaksakan untuk di Tanami Pohon Jati yang rata-rata mencapai ketinggian 2-3 meter. Ada juga lahan yang sengaja dibuka untuk Lokasi Bandar Udara Tual Baru. Sungguh disayangkan Lokasi untuk Bandara ini diletakan di tengah hutan, yang sudah barang tentu akan berdampak pada kelestarian Hutan disekitanya secara berkelanjutan


KONDISI DAERAH ALIRAN SUNGAI DAN SUMBER AIR

Desa Evu dan Daerah Aliran Sungai Evu.
Disepanjang Daerah Aliran Sungai Desa Evu dikatan oleh masyarakat sendiri dan menurut observasi dapat dikatakan cukup terkendali, dan cukup dipertahankan daerah hutannya , hanya disayangkan terjadi kerusakan hutan akibat pengambilan kayu di sekitar hulu sungai, padahal areal ini merupakan salah satu situs penyuplai cadangan air untuk sungai Efu. Untuk kapasitas cadangan air terjadi juga difisit tapi masih dalam kondisi normal.

Green Belt Danau Ablel Di Desa Ngilngof
Greenbelt di daerah ini cukup terkendali dan cukup dipertahankan oleh masyarakat sekitar.

Green Belt Danau Desa Ohoitel
Disisi utara dan barat kondisi hutannya cukup terkendali kondisnya namun disisi selatan dan timur areal ini cukup kritis, di areal ini melintas Jalan Ngadi-Ohoitel. Lihat Fotto.

Pengeloaan Sumber-Sumber Air Tanah

Ditemukan bahwa eksploitasi air tanah untuk kepentingan komersil dirasa berlebihan dan tak terkendali hal ini tidak diimbangi dengan penghijauan atau pelestarian hutan untuk resapan air tanah. Kondisi ini bisa dilihat di sumber-sumber air tanah di sekitar pantai Un yang dulunya sangat berjaya (mulai dibuka sekitar tahun 1996) sekarang bisa dikatakan sumber-sumber air itu sudah kering. Eksploitasi air kini telah berpindah disekitar daerah Langgur, yang dikhawatirkan kejadian di Un bisa terulang lagi.


Tatanan dan Pola Hidup Masyarakat

Secara Umum Pola Hidup masyarakat dalam bidang pertanian dan perkebunan juga telah mengalami perubahan, Perubahan ini terjadi karena beberapa faktor:
§ Terkikisnya nilai-nilai budaya yang sangat peduli dan delat dengan alam. (Tradisi Hawear, Tradis Pengolahan Kait, Berkurangnya peran masyarakat adat)
§ Kurangnya kesadaran dan sosialisasi tentang tanama produktif
§ Kondisi dan keadaan Lingkungan, dalam hal ini faktor berkurangnya kesuburan tanah, sempitnya lahan untuk pengolahan, cuaca yang tak menentu dan sebagainya
§ Motivasi dan Budaya bercocok tanam dalam masyarakat, yang semakin terkikis. Penyebabnya, selain faktor2 diatas juga disebabkan oleh faktor luar, yakni budaya konsumtif masyarakat karena perubahan zaman, juga orientasi pekerjaan terutama generasi muda yang berpaling dari dunia pertanian, serta tersedianya bahan pangan dan kebutuhan lainnya dari daerah lain. Serta Budaya memanfaatkan pekarangan sebagai lahan kebun rumah tangga sudah sangat berkurang dan sulit ditemukan.
§ Kurangnya kepedulian masyarakat tentang pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan, dengan masi terjadinya pemboman ikan, pengunaan potassium, dan pembukaan lahan dengan cara di bakar.
§ Adanya indikasi pemaksaan program penanaman beberapa jenis pohon yang tidak mengindahkan hak tanah ulayat, potensi lahan, jenis tanah dan potensi kayu lokal


Perencanan Pembangunan Yang Berkelanjutan


Dalam proses penataan ruang wilayah, dan proses pembukaan lahan untuk pemukiman yang kurang tertata dan terencana , indikasi bisa dilihat dengan perencanan ruang di daerah Pantai Un tidak dimbangi dengan perencanan ruang terbuka hijau, atau di daerah Fidatan, Mangon, Dumar terlihat ada proses saling tumpang tindih (orientasi bangunan) disetiap persil bangunan.

Pemerintah daerah dalam hal ini dinas-dinas terkait kurang memperhatikan lahan-lahan kosong untuk di alih fungsikan sebagaimana mestinya, juga kurang sosialiasi tetang perencanaan pembangunan wilayah yang berkelanjutan, dan tidak adanya aturan yang jelas tentang penataan tata ruang kota dan wilayah. Juga dirasa dalam setiap perencanaan pembangunan wilayah kurang memperhatikan Analisa mengenai Dampak Lingkungan Hidup (AMDAL)

Kamis, 14 Agustus 2008

Realita Tanah Evav


Kampanye Peduli Lingkungan Hidup 2007 di Kepulaun Kei, 27-9 September 2007
HIMPUNAN MAHASISWA MALUKU TENGGARA - SURABAYA
Tim Mahasiwa Peduli Evav

Kesadaran ekologis dalam pelestarian lingkungan pada tataran global sekarang ini semakin digalakan, Pecinta lingkungan hidup global, terus melakukan aktifitas untuk membangkitkan kesadaran para penghuni bumi akan pentingnya pelestarian lingkungan agar generasi manusia mendatang pun bisa hidup dengan layak. Pemanasan global, mencairnya es kutub, badai elnino, banjir bandang, naiknya air laut yang tidak biasa telah mengajak kesadaran masyarakat dunia untuk bagaimana memperhatikan lingkungan hidup terutama pelestarian hutan sebagai paru-paru dunia, tempat cadangan air minum.

Dalam konteks global kesadaran lingkungan hidup inilah mendapat tempat yang khas karena mencetuskan kesadaran akan pentingnya hutan bagi hidup manusia. Umumnya ulasan mengenai konservasi hutan mengambil fokus teritori yang luas, baik itu pulau besar seperti Papua dan Kalimantan maupun benua. Tapi hanya satu atau dua peneliti saja yang berani dan mampu untuk menerapkan fokusnya untuk suatu pulau yang kecil, berkarang, seperti di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, dan yang hampir terlupakan di jajaran Nusantara, sebaimana dijuluki the Forgotten Islands of Indonesia oleh antropolog Nico de Jonge dan Toos van Dijk dalam buku mereka (1995).

Keadaan etnoekologis Kepulauan Kei ini menimbulkan keprihatinan dari kami HIMAMALRA-Surabaya sebagai bagian dari generasi muda asal Kep. Kei Maluku Tenggara, yang mencermati ancaman riil terhadap masyarakat masa kini dan mendatang karena kawasan hutan yang sudah menjamin kelangsungan hidup leluhurnya kini semakin menyempit karena di babat warganya secara serakah tanpa terkendali untuk memperluas kawasan perladangan atau untuk menambah uang hasil penjualan kayu demi mendukung ekonomi rumah tangga penduduk. Menyayangkan bahwa proyek reboisasi yang gagal dan penyuluhan dari pihak pemerintah daerah maupun dari kalangan LSM hampir tidak ada untuk membuka dan membangun kesadaran baru pada masyarakat Kei masa kini. Tentu saja ketidaktahuan mengenai penanaman kembali bibit-bibit pohon yang baru ini seharusnya dilatih oleh pemerintah daerah dan LSM bagi masyarakat petani ladang berpihdah yang memang secara adat tidak terbiasa untuk menanam pepohonan tahunan. Mengklaim bahwa perubahan ekologis pada daratan pulau yang kecil ini sungguh drastis, yaitu setiap tahun sekitar 315 ha hutan terbabat, sedangkan pada masa kini hutan di Pulau Kei Kecil ini hanya tersisa 33% saja (Rujukan dari, Erick Lobja, Menyelamatkan Hutan Dan Hak Adat Masyarakat Kei; 2003). Merujuk perubahan ekologis ini pada penyebab yang sering dialami di berbagai kawasan dunia, yaitu adanya kemiskinan, ketidaktahuan, keserakahan rakyat dan pemakaian teknologi gergaji listrik (cbainsaw) dalam 10 tahun terakhir ini. Perubahan ekologis akibat kebutuhan ekonomi jangka pendek juga terjadi di pesisir pantai dengan eksploitasi pasir (-di kawasan potensi wisata-) untuk di jadikan bahan bangunan khususnya kebutuhan pemukiman di Kota Tual yang sangat tinggi. Kerusakan atau lebih tepat kita katakan pengrusakan terhadap kawasan hutan dan pantai dengan penebangan pohon dan pengerukan pasir membawa akibat pada penurunan kwantitas dan kwalitas sumber daya alam dan linkungan hidup, sangat dirasakan dan jadi ancaman riil bagi masyarakat Kepulauan Kei saat ini, Kelangkaan sumber-sumber air, Penurunan kesuburan tanah, peningkatan polusi udara dan panas bumi, kepunahan berbagai jenis flora dan fauna, penyusutan berbagai jenis hasil; laut, abrasi (pengkisan) garis pantai, Intrusi (penncampuran) air laut terhadap air sumur. Serentak juga menyayangkan hilangnya pranata budaya seperti tanda larangan adat yang dikenal sebagai hawear dan yutut (atau sasi di ambon), dan memudarnya makanan tradisional embal, yang dibuaat dari tepung singkong atau ketela pohon dan biasanya bertahan paling kurang 5 bulan, serta yang secara tradisional sudah pernah menjadi persediaan bahan makanan kering untuk masa paceklik. Kini produksi embal lempeng hanya dapat diperoleh di satu-dua desa saja yang sudah di jadikan model cinderamata atau oleh-oleh khas daerah untuk para turis atau para handai toland di luar Kei.

Menyadari bahwa Ada “Sinergi antara Budaya dan Lingkungan Hidup Masyrakat Kei” dan seakan menjadi salah satu solusi yang tepat maka kami Himpunan Mahasiswa Maluku Tenggara-Surabaya (HIMAMALRA-Surabaya) lewat TIM MAHASISWA PEDULI EVAV merencanakan untuk melaksanakan Kampanye Peduli Lingkungan Hidup 2007 dengan “Pendekatan Budaya Masyarakat Evav di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara”. Dengan bahasa adatnya “A batbatang nuhu met Evav” (Selamatkan Tanah dan Laut Evav).