r e v o [SO] l u t i o n

Revo to Gaze__Gaze to Revo

Sabtu, 06 September 2008

90% Warga Maluku Tenggara Konsumsi Air Tak Berkualitas

Sekitar 90 persen warga Kabupaten Maluku Tenggara, yang berjumlah sekitar 140.000 jiwa, mengonsumsi air tak berkualitas. Demikian hasil pengujian laboratorium Dinas Kehutanan, Perkebunan, dan Lingkungan Hidup setempat. Kabid Lingkungan Hidup Dinas Kehutanan, Perkebunan dan Lingkungan Hidup Maluku Tenggara, John Nahusonna, di Ambon, Senin, mengatakan, tidak berkualitasnya air ini karena mengandung bahan kimia berupa logam berat sehingga mengancam kesehatan masyarakat. "Kami tahun 2006 lalu melakukan pengujian terhadap empat lokasi sumber air ternyata tiga diantaranya tidak boleh dikonsumsi karena mengandung kimia," tambahnya. Karenanya itu, pada 2007 ini diprogramkan melakukan pengujian lagi terhadap 50 sumber air di Maluku Tenggara sehingga memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mengkonsumsi air berkualitas. "Pengalaman selama ini dari kapal-kapal yang berlabuh di pelabuhan Tual, ibukota Kabupaten Maluku Tenggara senantiasa mempertanyakan hasil pengujian air berkualitas sebelum pengisian air bersih," ujarnya. John mengisyaratkan tidak berkualitasnya air di Maluku Tenggara ini pun dipengaruhi degradasi hutan yang hingga saat ini tercatat memiliki 126.000 hektar lahan kritis. "Kami pun belum bisa berbuat banyak karena Dephut pun setiap tahun hanya mengalokasikan dana bagi program reboisasi hutan seluas 2.000 hektar," katanya. Kondisi ini pun belum dihadapkan dengan pembukaan trans Kei Besar yang mengakibatkan terjadinya degradasi hutan lindung. [TMA, Ant]
dikutip dari  http://www.gatra.com/2007-09-17/artikel.php?id=107858

Kearifan Tradisional Masyarakat Evav

Kembali ke KEARIFAN TRADISIONAL EVAV

Kearifan masyarakat Evav dalam menjaga, mengolah, dan melestarikan sumberdaya alamnya sebagaimana diulas kembali oleh almarhum J.P. Rahail (Raja Adat Maur Ohoiwut) dalam bukunya Batbatang Fitroa Fitnangan (1995), menunjukan bahwa sesungguhnya peradaban masyarakat Evav sejak dahulu sudah memiliki kearifan yang berwawasan lingkungan. Tanpa pakar kehutanan, tanpa sarjana pertanian ataupun ahli kelautan, mereka (masyarakat Evav tempo dulu) telah meletakkan konsep-konsep pelestarian alam dengan cara mereka sendiri. Hanya dengan cara mengamati sendiri dan didorong oleh kecintaan kepada alam negerinya, mereka sudah menerapkan apa yang kita kenal di jaman modern ini sebagai Tata Guna Lahan atau Tata Guna Kawasan. Bukti bahwa mereka memiliki kearifan yang berwawasan lingkungan, dapat
disimak mulai dari syair-syair tua yang menjadi falsafah hidup mereka, sampai dengan pola pembagian lahan untuk kawasan darat maupun kawasan laut.

Syair - 1:
batbatang nuhu met,
fitroa fitnangan,
vuut er is waar,
medar er sai roan,
kuwlai ukadir rir wai dok tub.

Menjaga tanah dan pantai,
laut dan darat,
ikan-ikan mematuk akar,
kuskus memakan dedaunan,
tempat kediaman ulat dan cacing.

Syair ini memberi gambaran yang jelas bagi kita bahwa manusia dan alam beserta segenap isi kandungannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perkataan fitroa fitnangan (tujuh di laut, tujuh di darat) berarti sudah mencakup keseluruhan yang ada di laut maupun di darat. Bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa ulat dan cacing sekalipun, mempunyai hak untuk hidup di tempat keberadaannya. Manusia dan alamnya hidup untuk saling menghidupi.

Syair – 2:

it dok fo ohoi, it mian fo nuhu,
it dok did kovaat doknain, it vivnon did bamiir,
it var afa ohoi nuhu hov ni adat,
Duad hov enfangnan vuk.

kita tinggal (hidup bersama) demi kampung kita, kita menetap (hidup bersama)demi negeri kita,
kita tingal di tempat kediaman kita sendiri, dan kita tetap menjinjing bagian milik kita,
kita menjaga pusaka negeri kita bersama hukumnya,
kita hidup tegak selurus-lurusnya,
dengan demikian hukum menjaga dan memelihara hidup kita,
para leluhur kita pun turut menyayangi kita,
dan Allah mengasihani kita.

Syair falsafah hidup masyarakat Evav ini meletakkan konsep-konsep dasar tentang kehidupan manusia secara universal. Bahwa mereka hidup bersama-sama di suatu negeri, dan memenuhi kebutuhan hidupnya dari hasil-hasilnya alam negeri itu. Mereka secara bersama-sama menjaga dan memelihara negeri beserta hasil-hasil alamnya (laut dan darat) untuk keberlangsungan hidup mereka.

Bahwa mereka menempati wilayah mereka sendiri dan menegakkan hak milik mereka. Mereka percaya bahwa dengan menghormati budaya dan menjunjung tinggi hukum adat, serta hidup dengan selurus-lurusnya dan seadil-adilnya, maka hidup mereka akan dilindungi oleh hukum adat, para leluhur dan Allah sendiri.

Falsafah hidup menggambarkan dengan jelas tentang hubungan antara manusia dengan alamnya, hak-hak asasinya manusia, pelestarian budaya, moral, bahkan religius.

it vait neblo uban ruran,
ikbo adat enfangnan enbatang haraang,
nit yamad ubud nusid hov erbatang fangnan,


oleh: BENO.M (sby)

Pesan Utama Leluhur Evav adalah Menjaga Lingkungan Hidup

 
PESAN PARA LELUHUR TETEEN EVAV....


“Batbatang nuhu met, fitroa fitnangan, vuut er is waar, medar er sai roan, kuvlai ukadir rir wai dok tub”

Kita menjaga tanah dan pantai, laut dan darat, ikan-ikan mematuk akar, kuskus memakan dedaunan, tempat kediaman ulat dan cacing.

“It dok fo ohoi, it mian fo nuhu, it dok did kovaat doknain, it vivnon did bamiir”

kita tinggal bersama-sama demi kampung kita, kita menetap bersama-sama demi negeri kita,
kita tinggal bermukim di tempat kediaman kita sendiri, dan kita selalu menjinjing (menjaga) apa yang menjadi milik kita ini.
(J.P. Rahail, Batbatang Fitroa Fitnangan, 1995)

Syair yang pertama memberi gambaran yang jelas bagi kita bahwa manusia dan alam beserta segenap isi kandungannya (fitroa fitnangan) merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Bahwa ulat dan cacing sekalipun mempunyai hak untuk hidup di tempat keberadaannya, maka manusia hidup untuk mengelola alam beserta isi kandungannya secara arif, dengan demikian maka alam pun akan menjamin ketersediaan kebutuhan hidup bagi manusia.

Syair yang kedua juga menyuarakan tentang kebersamaan hidup manusia dan pelestarian alam lingkungannya. Bahwa manusia itu hidup secara bersama-sama, dan secara bersama-sama pula manusia wajib menjaga dan memelihara alam (negeri) tempat kediamannya itu. Tempat kediaman yang sudah menjadi miliknya sendiri yaitu Nuhu Evav.

Manusia (Tomat Evav) dan alamnya (Nuhu Evav) hidup untuk saling menghidupi !

Oleh karena itu kami mengajak: “Do it taha batbatang did nuhu met roa nangan enhov ni barloang fo did kes u vusin, ne yang mur manan” Marilah kita menjaga dan memelihara negeri kita ini, Nuhu Evav, baik kawasan laut maupun kawasan darat beserta segenap isinya, demi kesejahteraan hidup kita sekarang dan perbekalan hidup bagi anak-cucu kita kelak.

P.R. Renwarin menyuarakan: “Bila para leluhur Kei telah berhasil menggalang hidup bersama selama ratusan tahun hingga menurunkan manusia-manusia muda sekarang ini, maka tantangan dan panggilan bagi generasi muda Kei (Koko Evav) di era millenium III ini adalah untuk mencari jalan keluar yang baru demi kesejahtaraan hidup bersama selanjutnya di atas bumi Kei (Tanat Evav) yang tercinta” (P.R. Renwarin, Sekapur Sirih dalam Buku “Menyelamatkan Hutan dan Hak Adat Mayarakat Kei”, Erick Lobja, 2003).

Tabe Fangnanan Nuhu Evav.......