r e v o [SO] l u t i o n

Revo to Gaze__Gaze to Revo

Kamis, 14 Agustus 2008

Realita Tanah Evav


Kampanye Peduli Lingkungan Hidup 2007 di Kepulaun Kei, 27-9 September 2007
HIMPUNAN MAHASISWA MALUKU TENGGARA - SURABAYA
Tim Mahasiwa Peduli Evav

Kesadaran ekologis dalam pelestarian lingkungan pada tataran global sekarang ini semakin digalakan, Pecinta lingkungan hidup global, terus melakukan aktifitas untuk membangkitkan kesadaran para penghuni bumi akan pentingnya pelestarian lingkungan agar generasi manusia mendatang pun bisa hidup dengan layak. Pemanasan global, mencairnya es kutub, badai elnino, banjir bandang, naiknya air laut yang tidak biasa telah mengajak kesadaran masyarakat dunia untuk bagaimana memperhatikan lingkungan hidup terutama pelestarian hutan sebagai paru-paru dunia, tempat cadangan air minum.

Dalam konteks global kesadaran lingkungan hidup inilah mendapat tempat yang khas karena mencetuskan kesadaran akan pentingnya hutan bagi hidup manusia. Umumnya ulasan mengenai konservasi hutan mengambil fokus teritori yang luas, baik itu pulau besar seperti Papua dan Kalimantan maupun benua. Tapi hanya satu atau dua peneliti saja yang berani dan mampu untuk menerapkan fokusnya untuk suatu pulau yang kecil, berkarang, seperti di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara, dan yang hampir terlupakan di jajaran Nusantara, sebaimana dijuluki the Forgotten Islands of Indonesia oleh antropolog Nico de Jonge dan Toos van Dijk dalam buku mereka (1995).

Keadaan etnoekologis Kepulauan Kei ini menimbulkan keprihatinan dari kami HIMAMALRA-Surabaya sebagai bagian dari generasi muda asal Kep. Kei Maluku Tenggara, yang mencermati ancaman riil terhadap masyarakat masa kini dan mendatang karena kawasan hutan yang sudah menjamin kelangsungan hidup leluhurnya kini semakin menyempit karena di babat warganya secara serakah tanpa terkendali untuk memperluas kawasan perladangan atau untuk menambah uang hasil penjualan kayu demi mendukung ekonomi rumah tangga penduduk. Menyayangkan bahwa proyek reboisasi yang gagal dan penyuluhan dari pihak pemerintah daerah maupun dari kalangan LSM hampir tidak ada untuk membuka dan membangun kesadaran baru pada masyarakat Kei masa kini. Tentu saja ketidaktahuan mengenai penanaman kembali bibit-bibit pohon yang baru ini seharusnya dilatih oleh pemerintah daerah dan LSM bagi masyarakat petani ladang berpihdah yang memang secara adat tidak terbiasa untuk menanam pepohonan tahunan. Mengklaim bahwa perubahan ekologis pada daratan pulau yang kecil ini sungguh drastis, yaitu setiap tahun sekitar 315 ha hutan terbabat, sedangkan pada masa kini hutan di Pulau Kei Kecil ini hanya tersisa 33% saja (Rujukan dari, Erick Lobja, Menyelamatkan Hutan Dan Hak Adat Masyarakat Kei; 2003). Merujuk perubahan ekologis ini pada penyebab yang sering dialami di berbagai kawasan dunia, yaitu adanya kemiskinan, ketidaktahuan, keserakahan rakyat dan pemakaian teknologi gergaji listrik (cbainsaw) dalam 10 tahun terakhir ini. Perubahan ekologis akibat kebutuhan ekonomi jangka pendek juga terjadi di pesisir pantai dengan eksploitasi pasir (-di kawasan potensi wisata-) untuk di jadikan bahan bangunan khususnya kebutuhan pemukiman di Kota Tual yang sangat tinggi. Kerusakan atau lebih tepat kita katakan pengrusakan terhadap kawasan hutan dan pantai dengan penebangan pohon dan pengerukan pasir membawa akibat pada penurunan kwantitas dan kwalitas sumber daya alam dan linkungan hidup, sangat dirasakan dan jadi ancaman riil bagi masyarakat Kepulauan Kei saat ini, Kelangkaan sumber-sumber air, Penurunan kesuburan tanah, peningkatan polusi udara dan panas bumi, kepunahan berbagai jenis flora dan fauna, penyusutan berbagai jenis hasil; laut, abrasi (pengkisan) garis pantai, Intrusi (penncampuran) air laut terhadap air sumur. Serentak juga menyayangkan hilangnya pranata budaya seperti tanda larangan adat yang dikenal sebagai hawear dan yutut (atau sasi di ambon), dan memudarnya makanan tradisional embal, yang dibuaat dari tepung singkong atau ketela pohon dan biasanya bertahan paling kurang 5 bulan, serta yang secara tradisional sudah pernah menjadi persediaan bahan makanan kering untuk masa paceklik. Kini produksi embal lempeng hanya dapat diperoleh di satu-dua desa saja yang sudah di jadikan model cinderamata atau oleh-oleh khas daerah untuk para turis atau para handai toland di luar Kei.

Menyadari bahwa Ada “Sinergi antara Budaya dan Lingkungan Hidup Masyrakat Kei” dan seakan menjadi salah satu solusi yang tepat maka kami Himpunan Mahasiswa Maluku Tenggara-Surabaya (HIMAMALRA-Surabaya) lewat TIM MAHASISWA PEDULI EVAV merencanakan untuk melaksanakan Kampanye Peduli Lingkungan Hidup 2007 dengan “Pendekatan Budaya Masyarakat Evav di Kepulauan Kei, Kabupaten Maluku Tenggara”. Dengan bahasa adatnya “A batbatang nuhu met Evav” (Selamatkan Tanah dan Laut Evav).


3 komentar:

Gaze'ali Husni Uar Khaulani mengatakan...

Berikan opini anda dan komentar anda tentang kondisi Lingkungan Hidup Negeri Evav

Anonim mengatakan...

mantap ko yaan.........artikel akan di forward dari saya ke blog orang kei di ausie.....

Anonim mengatakan...

mantap ko yaan.........artikel akan di forward dari saya ke blog orang kei di ausie.....